Senin, 28 Mei 2012

Kesustraan

Filed under: Adventure — pipitembem23 @ 11:17 pm
Ilmu Budaya Dasar secara sederhana adalah pengetahuan yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah manusia dan kebudayaan . Suatu karya dapat saja mengungkapkan lebih dari satu masalah, sehingga ilmu budaya dasar bukan ilmu sastra, ilmu filsafat ataupun ilmu tari yang terdapat dalam pengetahuan budaya, tetapi ilmu budaya dasar menggunakan karya yang terdapat dalam pengetahuan budaya untuk .
Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep.
Pokok-pokok yang terkandung dari beberapa devinisi kebudayaan
1. Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia sangat beragam
2. Kebudayaan didapat dan diteruskan melalui pelajaran
3. Kebudayaan terjabarkan dari komponen-komponen biologi, psikologi dan sosiologi
4. Kebudayaan berstruktur dan terbagi dalam aspek-aspek kesenian, bahasa, adat istiadat,
budaya daerah dan budaya nasional
Ilmu Budaya Dasar Merupakan Pengetahuan Tentang Perilaku Dasar-Dasar Dari Manusia. Unsur-unsur kebudayaan
1. Sistem Religi/ Kepercayaan
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Ilmu Pengetahuan
4. Bahasa dan kesenian
5. Mata pencaharian hidup
6. Peralatan dan teknologi
Karya sastra adalah penjabaran abstraksi,namun filsafat yang menggunakan bahasa juga disebut abstrasi. Maka abstrak adalah cinta kasih,kebahagian,kebebasan dan lainnya yang digarap oleh filsafat. Dalam kesusastraan IBD dapat dihubungkan …
meliputi: Bahasa, Agama, Kesusastraan, Kesenian dll. Mengikuti pembagian ilmu pengetahuan seperti tersebut diatas maka Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar adalah satuan pengetahuan yang dikembangkan sebagai usaha pendidikan. Konsep-konsep social dibatasi pada konsep dasar atau elementer saja yang sangat diperlukan utntuk mempelajari masala-masalah social yang dibahas dalam ilmu pengetahuan sosial, contohnya: Keanekaragaman dan konsep kesatuan sosial bertolak .
Tanpa ada maksud menciptakan dikotomi dalam kesusastraan, ada perbedaan antara literatur biasa dengan sastra. Sastra memiliki sense of love yang lebih representatif. Sebagai contoh, literatur ekonomi dapat saja mencatat angka-angka … Ada benang merah yang menyatukan konsep kebudayaan kita. Tidak heran apabila para pendiri bangsa mampu melebur diri dalam Bhineka Tunggal Ika. Kearifan budaya lokal masih kuat. Elemen-elemen kearifan budaya lokal kita didominasi oleh ajaran
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia peran sastra lisan maupun tulis sangat menonjol dalam memperadabkan masyarakatnya. Warisan sastra semacam itu dapat dilihat dari tersimpannya ribuan karya-karya sastra tertulis di museum-museum daerah, seperti perpustakaan nasional, perpustakaan kraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, Cirebon, Melayu-Riau, Bali, dan daerah-daerah suku yang lain. Pada suku Sunda, misalnya, terdapat 80 sastra lontar yang baru sekitar 10 saja yang sudah diterjemahkan, belum terhitung khasanah sastra lisan berupa pantun Sunda dan wawacannya.
Indonesia sebenarnya memiliki warisan sastra yang kaya raya, yang membuktikan bahwa bangsa ini sebenarnya pecinta sastra. Namun warisan sastra yang kaya raya ini tidak diperdulikan lagi oleh bangsa ini. Kita lebih banyak menimba nilai-nilai sastra dari peradaban-peradaban luar yang kita anggap membawa kemajuan peradaban. Kalau mau menjadi bangsa yang modern dan maju, kita harus berorientasi ke depan, yakni sastra yang berkembang di peradaban-peradaban maju pula.
Modernitas memang tak bisa dielakkan. Mau tak mau Indonesia harus berperadaban yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Indonesia harus berubah dari Indonesia pra-modern menjadi bangsa modern. Tetapi apakah perubahan? Perubahan adalah sesuatu menjadi sesuatu yang lain dari sesuatu itu sendiri. Indonesia menjadi Indonesia modern dari keindonesiaannya sendiri. Aku adalah dia sebagai aku.
Selama ini kita tidak mengenal diri kita sendiri. Dalm bidang sastra, pengetahuan dan pengalaman sastra keindonesiaan kita sangat minim. Kita belum pernah membaca terjemahan dalam bahasa nasional kita I La Galigo yang ribuan halaman itu. Tidak ada terjemahan kakawin Bharatayudha, Arjuna Wiwaha, Mintorogo, Tambo Minangkabau, pantun Mundinglaya Dikusumah, bahkan penerbitan ulang hikayat-hikayat yang ratusan itu.
Tentu saja kita tidak bermaksud menghidupkan kembali karya-karya sastra lapuk zaman lampau itu, tetapi memahami alam pikiran, tata nilai, yang terkandung di dalamnya yang ikut membentuk perjalanan peradaban diri kita sekarang ini. Tanpa disadari sebenarnya kita semua dibentuk oleh karya-karya sastra tersebut sampai menjadi manusia modern masa kini. Ada alam pikiran, ada tata nilai, yang dikandung dalam karya-karya sastra lisan dan tulis di Indonesia, yang membentuk peradaban Indonesia sepanjang sejarahnya. Kita memiliki sejarah peradaban sendiri, yang mungkin lebih dekat dengan peradaban Asia Tenggara, dan Asia yang lain.
Di sini akan ditelusuri secara garis besar perjalanan hubungan sastra dan peradaban di Indonesia dari pra-sejarah sampai masa kini. Bahwa sastra selalu dibutuhkan sebagai gambaran tata nilai peradaban setiap zamannya dan sejarahnya yang panjang. Sastra adalah fiksi, gambaran, imajinasi simbolik dari yang dibutuhkan masyarakatnya sebagai panduan memperadabkan diri. Sastra dibutuhkan sebagai penawaran atas permintaan tata nilai yang diakui, diyakini, diafirmasi sebagai pegangan kebenaran dalam menempuh hidup bersama.
Itulah sebabnya karya-karya sastra disimpan, Disalin, dicetak ulang, diceritakan kembali, bahkan dipentaskan, karena alam pikiran dan tata nilainya mashi tetap dibutuhkan. Sejarah sastra Indonesia bukan sejarah klangenan, penikmatan rasa keindahan, tetapi sejarah simbol-simbol yang mengacu pada alam pikiran dan nilai-nilai tertentu. Di saat-saat kritis, orang kembali pada karya-karya sastra untuk mencari pemecahan, atau sekurang-kurangnya mencari kekuatan untuk dapat tetap bertahan.
1. Sastra Lisan
Sastra lisan berkembang di daerah perdesaan dalam bentuk cerita tutur. Fungsi jenis sastra ini adalah sebagai afirmasi sistem kepercayaan setiap suku di Indonesia. Kita menyebutnya sebagai mitos. Setiap sistem kepercayaan mana pun memiliki mitos-mitosnya sendiri. Inilah semacam “kita suci” mereka. Mitos-mitos asal-usul dunia (suku) dan manusia (suku) di berbagai daerah di Indonesia belum pernah kita kumpulkan.
Mitos asal-usul kejadian manusia dan semesta ini mengandung cara berpikir mendasar tentang keberadabaan, yakni sedikit banyak filosofis. Dan ternyata untuk setiap suku dapat berbeda-beda. Mitos Toar dan Lumimuut di Minahasa, Mitos Te’se di Riung, Manikmaya di Jawa, Sulanjana di Sunda, Tambo Minangkabau di Minang, Femuripits di Asmat, menunjukkan perbedaan filosofis tersebut. Lu,o,iit dan Te’se, misalnya, manusia pertama yang muncul di dunia ini adalah perempuan yang keluar dari keringat batu atau belahan batu, yang hamil dengan persetubuhan dengam alam, Lumimuut membongkok ke arah mata angin, Te’se serbuk bunga masuk ke kelaminnya waktu tidur. Keduanya melahirkan anak lelaki, yang kemudian akan mengawini ibunya itu, dan berkembang biaklah manusia (suku).
Femuripits agak lain. Dia lelaki yang muncul begitu saja dari sebuah gunung di hulu sungai. Ia berlayar ke arah hilir dan disana membuat patung kayu sepasang, lalu ia menari mengelilinginya, dan patung-patung kayu itu menjadi manusia Asmat yang pertama. Di masyarakat Jawa dan Sunda agak mirip, yakni keberadabaan ini muncul dari kekosongan mutlak yang disebut auwung awang uwung.
Di Jawa alam suwung tadi dihuni oleh Sang Hyang Wisesa, yang memegang sejenis telur primordial yang muncul bersama bunyi genta. Telur inilah yang kemudian menjadi langit dan bumi dari kulitnya, siang dan malam dari putih telurnya, dan mahadewa kembar Manik dan Maya. Dari keduanya inilah muncul segala sesuatu didunia ini. Di Sunda alam suwung tadi disebut jatiniskala yang dihuni oleh Si Ijunajati Mistemen. Dari padanya muncul batara Keresa (kehendak), batara Kawasa (kekuasaan, kekuatan), dan batara Maha Karana (penyebab pertama). Ketiga batara ini menjelma menjadi Sang Hyang Tunggal. Dari Sang Hyang Tunggal inilah keluar ucapan: Aku adalah Dia sebagai Aku.
Mitologi-mitologi ini (sastra) dijadikan pegangan utama dalam membentuk peradaban. Mitos-mitos ini semacam “kitab suci” suku yang membentuk nilai-nilai etik. Dan ternyata nilai etik yang satu berbeda bahkan bertentangan dengan yang lain. Di satu fihak perempuan menduduki tempat terhormat (lelaki di bawah perempuan), di fihak lain sebaliknya. Di satu fihak korban manusia penting bagi kesuburan tanaman (mitos Te’se di Riung), di fihak lain perkawinan merupakan syarat penting kesuburan tanaman (Jawa, Sunda). Terdapat dua motif utama keselamatan manusia, yakni perang (kematian) dan perkawinan (memihak kehidupan).
Sastra lisan yang terkenal sampai abad 20 adalah pantun Sunda. Pantun adalah cerita tutur yang diiringi petikan kecapi semalam suntuk. Cerita pantung Lutung Kasarung, Mundinglaya Dikusumah, Nyi Sumur Bandung, Ciung Wanara, Panggung Karaton, untuk waktu yang lama ikut membentuk tata nilai etik masyarakat Sunda. Cerita pantun fungsinya mirip dengan wayang kulit di Jawa. Wayang membentuk peradaban Jawa.
Kiranya jelas bahwa sastra lisan di berbagai suku adalah imajinasi murni yang merupakan simbol-simbol realitas. Sastra lisan ini muncul berdasarkan realitas masyarakatnya, menjadi sastra simbol dan dikembalikan ke realitas kembali. Masyarakat perdesaan ini peka terhadap simbol-simbol seni. Mereka hidup berdasarkan simbol-simbol tersebut. Mereka tidak peduli apakah itu historis atau imajinasi. Sastra itu realitas yang bersangkutan dengan kehidupan bersama atau pribadi mereka. Lumimuut itu nyata. Nyai Roro Kidul itu nyata. Bima itu benar-benar menggali sungai Serayu dengan alat kelaminnya.
Kebudayaan mitis-spiritual semacam itu sama sekali tergantung dari sastra mitos. Di perdesaan, sastra lisan ini diwariskan turun temurun dengan perubahan-perubahan yang sesuai dengan tata nilai setempat. Ilmu perbandingan sastra lisan dapat menguak sejarah pemaknaan satu mitos dari satu lokal ke lokal lain suku tersebut.
2. Sastra Tulis Peradaban Hindu-Indonesia
Bangsa Indonesia memasuki zaman literer pada abad-abad awal milineum pertama, yakni ketika lembaga-lembaga kerajaan bermunculan di berbagai wilayah suku Indonesia. Berkembangnya sastra tertulis Hinduistik-Budistik di Indonesia berlangsung dari abad 9 sampai 16. Seperti sastra lisan etnik sebelumnya, jenis sastra ini juga mitologis, bagian dari kebudayaan-agama atau kepercayaan. Jenis sastra ini masih hidup di Bali dan menjadi pedoman etik masyarakatnya.
Sastra mitologis ini, seperti halnya sastra lisan, adalah untuk “dipertunjukkan” atau didengarkan, sehingga tidak mengherankan apabila banyak yang berbentuk puisi. Fungsi sastra ini adalah menghadirkan daya-daya transenden bagi berbagai kepentingan hidup sehari-hari mereka. Barang siapa membaca dan mendengarkan sampai selesai akan mendapatkan berkah. Karena dipercayai sebagai pembawa berkah, maka karya-karya sastra itu dinilai sakral juga. Dan karena sakral maka semua yang diceritakan di dalamnya mengandung kebenaran-kebenaran yang dijadikan pedoman membangun peradaban bersama.
Kajian ilmiah mengenai jenis sastra mitologis ini sudah jarang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, yang pada zaman kolonial justru banyak kajian dilakukan oleh sarjana-sarjana asing. Kajian semacam itu dapat menguak alam pikiran buaya-mitis Indonesia tentang apa yang disebut kebenaran, kebaikan, keindahan, kesempurnaan, keadilan. Alam pikiran yang dikandung oleh berbagai sastra-mitis ini tidak lenyap bersama lenyapnya jenis sastra ini di masyarakat. Alam pikiran klenik, kebatinan, kesaktian, yang masih berkembang di masyarakat sekarang, dapat dilacak genealoginya dalam sastra lisan-mitis dan sastra tulis-mitis ini. Sastranya sudah tidak dibaca lagi, namun alam pikiran yang terkandung dalam karya-karya itu masih merupakan bagian peradaban Indonesia sekarang.
Ratusan karya-karya sastra yang mencerminkan pola berpikir masyarakat pendukungnya, yakni peradaban sezama, tidak pernah diakui sebagai bagian dari pembentukan peradaban bangsa Indonesia. Akibatnya karya-karya sastra ini teronggok di museum-museum dan perpustakaan keraton menunggu kemusnahannya. Dengan sikap ini maka kita akan kehilangan genealogi perubahan-perubahan peradaban bangsa sendiri.
Ajaran-ajaran filsafat India mulai masuk dalam sastra peradaban Indonesia-Hinduistik ini, yang sebagian berpengaruh ketika Islam berkembang di Indonesia sejak tahun 1200-an. Gejala ini tidak mengherankan karena ketika filsafat dan agama Hindu masih berkembang subur di Indonesia, agama Islam mulai berkembang dari Aceh. Kisah-kisah Syekh Siti Jenar, Kyai Cebolek, Syekh Amongraga, Hamzah Fansuri, mewarnai transisi peradaban di Indonesia.
3. Sastra dan Peradaban Islam Indonesia
Indonesia memiliki warisan sastra Islam yang amat kaya, namun sedikit sekali kajian atas jenis sastra ini, baik di zaman kolonial maupun setelah kemerdekaan. Karya-karya sastra Islam ini dapat menguak peradaban Islam Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 500 tahun.
Sastra Melayu meninggalkan khasanah peradaban Islam-Indonesia yang sudah agak tertata, meskipun belum banyak dikaji untuk memahami peradaban Indonesia sampai sekarang ini. Begitu pula sastra Jawa zaman Islam menunjukkan karakter peradabannya sendiri, terutama sastra pesisir Jawa dan pedalaman Jawa. Sedang Sunda memiliki khasanah sastra Islamnya yang juga luar biasa banyaknya. Yang terkenal adalah bentuk wawacan yang masih berlangsung di daerah perdesaan Sunda sampai hari-hari ini, yaitu pertunjukan belukm untuk kepentingan hajatan (menunjukkan fungsi primordialnya). Viviane Tessier-Sukanda pernah mengumpulkan jenis wawancan ini lebih dari 500 buah di berbagai desa Pasundan, baik berupa ajaran-ajaran Islam maupun sastra imajinatif.
Khasanah sastra Islam di Indonesia jauh melebihi sastra Hinduistiknya. Kajian atas sastra ini akan memberikan pencerahan terhadap berbagai varian peradaban Islam Indonesia. Sayang perhatian terhadap khasanah yang kaya raya ini juga sangat kurang dilakukan. Peradaban Islam Indonesia tentunya universal Islami, tetapi juga tentu akan menunjukkan karakter keindonesiaannya yang khas pula.
Peradaban Islam Indonesia tidak mungkin difahami tanpa mempelajari karya-karya sastra ini. Ini menunjukkan bahwa sastra Islam membentuk peradaban Islam Indonesia.
4. Sastra Modern Zaman Kolonial
Sastra sebagai mitos (dasar kepercayaan imani) berlangsung sejak sastra lisan primordial sampai zaman Hindu, bahkan juga masih nampak pada zama Islam di Indonesia. Sastra Islam dibaca atau dipertunjukkan untuk menghadirkan daya-daya transenden. Sastra ini berkembang di kalangan rakayt perdesaan dan pusat-pusat kerajaan.
Sastra modern Indonesia berkembang di wilayah perkotaan, terutama kota-kota maritim, karena kekuasaan kolonial dimulai di wilayah-wilayah tersebut. Meskipun kolonialisme telah berkembang dalam abad 17 namun peradaban modern baru menampakkan dirinya dalam abad 19, yaitu dengan munculnya pendidikan modern Barat dan berkembangnya pers pribumi.
Peradaban mencolok dua peradaban, yakni peradaban mitologis dan peradaban modern, adalah bahwa peradaban mitis berkembang dalam masyarakat yang homogen, etnik, sakral, sedangkan peradaban modern Indonesia berkembang di masyarakat yang heterogen, nasional, profan, Fungsi sastra dalam membentuk peradaban juga heterogen. Dahulu sastra Jawa membentuk peradaban Jawa, begitu pula sastra Sunda, Melayu, Bali dan lain-lain. Dalam peradaban modern, sastra dan seni modern umumnya, hanya merupakan salah satu unsur permbentuk peradaban, disamping ilmu pengetahun, teknologi, filsafat, bahkan agama.
Sastra sebagai pembentuk peradaban, mengisyaratkan adanya relasi nilai antara karya sastra dan masyarakatnya. Alam pikiran dan tata nilai dalam sastra dibutuhkan untuk pedoman hidup bersama mereka. Dalam masyarakat yang homogen, kelompok etnik, peran sastra yang demikian itu amat signifikan, tetapi dalam masyarakat modern perkotaan yang heterogen, kebutuhan tata nilai dapat berbeda-beda untuk setiap kelompok sosialnya. Kalau dalam masyarakat pra-modern hanya dibutuhkan satu jenis sastra, dalam masyarakat modern dibutuhkan banyak jenis sastra.
Apa yang disebut sastra modern ini dapat digolongkan dalam dua sisi, yakni sastra modernyang berkembang dalam wilayah etnik, seperti sastra Jawa modern, sastra Bali modern, sastra Sunda modern, dan sastra modern yang menggunakan bahasa Indonesia modern. Tidak mengherankan apabila terdapat beberapa sastrawan yang dwibahasa. Ia menulis sastra modern dalam bahasa ibunya, tetapi juga menulis sastra modern dalam bahasa nasional. Apakah terdapat perbedaan sikap dalam alam pikiran dan tata nilainya antara karya-karyanya yang modern-etnik dan modern nasional, belum ada kajiannya.
Kalau sastra etnik zaman Hindu dan Islam berorientasi pada peradaban India dan Timur Tengah, sastra modern etnik maupun nasional berorientasi pada sastra Barat yang mulai berkembang di zaman kolonial. Pada abad 19 dan awal abad 20 banyak disadur atau diterjemahkan karya-karya sastra Barat di Indonesia. Sastra Barat ini memenuhi kebutuhan nilai masyarakat modern perkotaannya.
Pendidikan Belanda yang mengacu pada sistem pendidikan Eropa, memandang penting sastra bagi pembentukan peradaban modern. Tidak ada kaum terpelajar didikan kolonial yang tidak kenal sastra. Sastra dalam peradaban modern Barat dipandang sama pentingnya dengan sastra Indonesia di zaman peradaban mitologisnya. Dalam pendidikan kaum elit kekuasaan pra-modern Indonesia, kurikulum sastra adalah kewajiban, disamping agama, ilmu pemerintahan dan perang atau silat. Di masyarakat Sunda, misalnya, kurikulum pendidikan kaum menak atau bangsawan terdiri dari ngaji (agama), mamaos (sastra) dan maenpo (silat).
Kita belum pernah meneliti kurikulum dan silabus sastra modern apa saja yang diwajibkan bagi siswa-siswa tingkat menengah zaman kolonial. Kita hanya mengetahui bahwa kaum intelektual Indonesia yang dibesarkan di zaman kolonial amat akrab dengan sastra, seperti Syahrir dan Soekarno.
5. Sastra Indonesia Setelah Kemerdekaan
Peran sastra modern Indonesia dalam pembentukan peradaban modern Idnoensia setelah kemerdekaan amat beragam. Tradisi sastra dalam peradaban primordial, Hindu, Islam di zaman kemerdekaan masih ada pendukungnya di masyarakat perdesaan, seperti terlihat dari pembacaan wawacan di Sunda. Tetapi tradisi sastra modern zaman kolonial mulai merosot pendukungnya. Karya-karya sastra tidak lagi menjadi kebutuhan kaum elit terpelajarnya, tetapi menyempit hanya pada mereka yang berminat pada sastra saja, biasanya calon-calon sastrawan.
Kalau Syahrir dahulu masih menganjurkan pentingnya membaca Benedetto Croce dan Soekarno menyebut Dante Alighieri dalam pidatonya, kini kaum elit budaya Indonesia tak kenal lagi sastra dunia atau sastra bangsa sendiri. Sastra tidak lagi menjadi kebutuhan nilai bagi hidup mereka. Sudah barang tentu mereka mengenal apa yang disebut sastra, dengan merujuk pada sastra populer yang memang berkembang sejak zaman kolonial. Sastra semacam ini mengandung nilai-nilai afirmatif yang tidak usah terlalu serius dibaca dari sastra tetapi langsung pada sumber-sumber ilmunya. Bagi mereka sastra adalah bagian dari pemenuhi kebutuhan klangenan atau relaksasi. Sastra sebagai bagian pembentuk peradaban tidak dikenal di kalangan kaum terpelajar sesudah kemerdekaan.

0 komentar:

Posting Komentar